Dampak Konflik
Konflik
dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.
1.
Penyebab Terjadinya Konflik
Tidak
ada asap kalau tidak ada api. Segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat
pasti ada sebabnya, begitu pula konflik sosial. Sebagaimana definisinya,
konflik terjadi karena adanya perbedaan mendasar yang berupa perbedaan
kepentingan atau tujuan dari pihakpihak yang terlibat. Konflik dapat terjadi
antarindividu, antara individu dengan kelompok, antarmasyarakat dalam suatu negara,
antarmasyarakat dengan negara, antarpemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarnegara dengan kelompok ilegal,
bahkan antarnegara, dan sebagainya. Pada kenyataannya, tidak semua konflik
terjadi karena perbedaan kepentingan. Ada begitu banyak hal yang mampu memicu
timbulnya konflik dalam masyarakat.
Leopold
von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan beberapa hal yang dapat
menyebabkan konflik sosial terjadi sebagai berikut.
a.
Perbedaan Antarorang
Pada
dasarnya setiap orang memiliki karakteristik yang berbedabeda. Perbedaan ini
mampu menimbulkan konflik sosial. Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang
dirasa sebagai pemicu utama dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita
media massa banyak pertikaian terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati,
dan sebagainya. Selain itu, banyaknya perceraian keluarga adalah bukti nyata
perbedaan prinsip mampu menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau
pemikiran lahir karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap
masalah yang sama.
b.
Perbedaan Kebudayaan
Kebudayaan
yang melekat pada seseorang mampu memunculkan konflik manakala
kebudayaankebudayaan tersebut berbenturan dengan kebudayaan lain. Pada dasarnya
pola kebudayaan yang ada memengaruhi pembentukan serta perkembangan kepribadian
seseorang. Oleh karena itu, kepribadian antara satu individu dengan individu
lainnya berbeda-beda. Contoh, seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan
tentunya berbeda dengan seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian
ini, tentunya membawa perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu
yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antarkelompok manusia.
c.
Bentrokan Kepentingan
Umumnya
kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal. Seorang mampu
melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna mencapai kehidupan
yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara dua
kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial. Contohnya
benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh adalah
mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun, berkenaan dengan
meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan memenuhi kepentingan
buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan dan buruh. Buruh
menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan tersebut.
1.
Penyebab Terjadinya Konflik
Tidak
ada asap kalau tidak ada api. Segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat
pasti ada sebabnya, begitu pula konflik sosial. Sebagaimana definisinya,
konflik terjadi karena adanya perbedaan mendasar yang berupa perbedaan
kepentingan atau tujuan dari pihakpihak yang terlibat. Konflik dapat terjadi
antarindividu, antara individu dengan kelompok, antarmasyarakat dalam suatu negara,
antarmasyarakat dengan negara, antarpemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarnegara dengan kelompok ilegal,
bahkan antarnegara, dan sebagainya. Pada kenyataannya, tidak semua konflik
terjadi karena perbedaan kepentingan. Ada begitu banyak hal yang mampu memicu
timbulnya konflik dalam masyarakat.
Leopold
von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan beberapa hal yang dapat
menyebabkan konflik sosial terjadi sebagai berikut.
a.
Perbedaan Antarorang
Pada
dasarnya setiap orang memiliki karakteristik yang berbedabeda. Perbedaan ini
mampu menimbulkan konflik sosial. Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang
dirasa sebagai pemicu utama dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita
media massa banyak pertikaian terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati,
dan sebagainya. Selain itu, banyaknya perceraian keluarga adalah bukti nyata
perbedaan prinsip mampu menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau
pemikiran lahir karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap
masalah yang sama.
b.
Perbedaan Kebudayaan
Kebudayaan
yang melekat pada seseorang mampu memunculkan konflik manakala
kebudayaankebudayaan tersebut berbenturan dengan kebudayaan lain. Pada dasarnya
pola kebudayaan yang ada memengaruhi pembentukan serta perkembangan kepribadian
seseorang. Oleh karena itu, kepribadian antara satu individu dengan individu
lainnya berbeda-beda. Contoh, seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan
tentunya berbeda dengan seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian
ini, tentunya membawa perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu
yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antarkelompok manusia.
c.
Bentrokan Kepentingan
Umumnya
kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal. Seorang mampu
melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna mencapai kehidupan
yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara dua
kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial. Contohnya
benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh adalah
mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun, berkenaan dengan
meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan memenuhi kepentingan
buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan dan buruh. Buruh
menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan tersebut.
Konflik disfungsional adalah konflik yang mengarah
pada penurunan komunikasi atau kinerja kelompok. Dysfunctional
conflict can be an overabundance of conflict or a lack of sufficient motivating
conflict. Konflik disfungsional dapat menjadi hal meluap-luap konflik
atau kurangnya konflik memotivasi cukup.
Organisasi Disfungsional Konflik
·
Dysfunctional
conflict within an organization is motivated by egos of employees with
competing ambitions. Konflik disfungsional dalam organisasi termotivasi
oleh ego karyawan dengan ambisi bersaing. It
often leads to higher stress and a likelihood that employees will burn out.
Ini sering menyebabkan stres yang lebih tinggi dan kemungkinan bahwa karyawan
akan terbakar. Employees will also likely feel less satisfaction and
less loyalty to the organization. Karyawan juga akan cenderung kurang
merasakan kepuasan dan loyalitas kurang untuk organisasi.
Stages of Dysfunctional Conflict Tahapan Konflik
Disfungsional
·
There are five
stages of dysfunctional conflict. Ada lima tahapan konflik disfungsional.
Incompatibility is the source of conflict:
misunderstandings and lack of communication. Ketidaksesuaian adalah
sumber konflik: kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi. Recognition
is the process by which employees internalize the conflict that affects their
behavior. Pengakuan adalah proses dimana karyawan menginternalisasi
konflik yang mempengaruhi perilaku mereka. Intention
is the process by which employees' behavior changes due to the conflict.
Niat adalah proses dimana perilaku karyawan berubah karena konflik. Perceived
behavior refers to slights and reactions that play into creating conflict,
while results are effects of the conflict on a group. Perilaku yang
diamati mengacu pada penghinaan dan reaksi yang berperan dalam menciptakan
konflik, sedangkan hasil adalah efek konflik terhadap kelompok.
Resolving Dysfunctional Conflicts Menyelesaikan
Konflik Disfungsional
·
A leader must
resolve a conflict by recognizing ambitions and abilities of employees and
attempt to motivate and stimulate employees when there is too little conflict
or calm employees' tempers and bringing them to work together more effectively
when there is too much conflict. Seorang pemimpin harus menyelesaikan
konflik dengan mengenali ambisi dan kemampuan karyawan dan berusaha untuk
memotivasi dan merangsang karyawan ketika ada konflik terlalu sedikit atau
emosi karyawan tenang 'dan membawa mereka untuk bekerja sama lebih efektif bila
ada konflik terlalu banyak.
Read more: Apa itu Konflik Disfungsional? | EHow.com http://www.ehow.com/facts_7246711_dysfunctional-conflict_.html#ixzz1qVg4qenR